Surat perintah 11 Maret (1966) atau yang biasa disebut Supersemar, jadi titik balik kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno. Dengan mandat Supersemar itu juga, Soeharto yang kala itu masih berpangkat Mayor Jenderal duduk di singgasana republik sebagai suksesor Bung Karno. Setelah melalui MPRS dengan mendasarkan Supersemar, Soeharto mengasingkan Bung Karno secara tak pantas.
Dua hari setelah penandatanganan Supersemar yaitu pada 13 Maret 1966, Bung Karno dibawa dari Istana Bogor ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di sana, Bung Karno dilarang membaca koran atau sekadar mendengar siaran radio. Pedih tentunya kehidupan Sang Putra Fajar - julukan Bung Karno hingga akhirnya tutup usia pada 21 Juni 1970. Buat sejarawan Anhar Gonggong, perlakuan itu dianggap tak pantas.
“Memang kelewatan soal cara Bung Karno ditahan. Tapi dalam sejarah hal seperti itu juga (hal) biasa. Dalam sejarah banyak terjadi hal demikian, di mana yang menang menyingkirkan musuhnya,” papar Anhar, seperti dikutip dalam Okezone.com.
“Soekarno diperlakukan begitu memang keterlaluan. Tapi ketika ada desakan Pak Karno untuk diadili, Pak Harto juga yang mencegah,” lanjutnya.
Anhar juga melihat terjadinya transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto lebih kepada permainan politik di masa itu. “Itu permainan politik. Pak Karno juga bermain politik ketika mengeluarkan dekrit Presiden (5 Juli 1959) secara inkonstitusional. Dekrit itu bisa saja berjalan ketika Pak Karno masih banyak dukungan, makanya dia bisa bertahan enam tahun setelah dekrit itu” kata Anhar.
“Beda dengan (mendiang Presiden ketiga) Abdurrahman Wahid. Dia juga mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR. Tapi dia enggak punya banyak pendukung, maka jatuhlah dia,” katanya. (ws/ok)
Empat Jenderal Penodong Pistol ke Bung Karno Tak Benar
kata Sejarawan Anhar Gonggong meragukan peristiwa penodongan Brigjen Maraden Panggabean terhadap Presiden RI pertama, Soekarno kala diminta menandatangani Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tepat hari ini 49 tahun silam.
Sebagaimana pengakuan (mendiang) Soekardjo Wilardjito (mantan anggota detasemen pengamanan presiden) dalam bukunya, “Mereka Menodong Bung Karno” yang terbit 2008, empat jenderal yang mendatangi Bung Karno di Istana Bogor mendesak penandatanganan Supersemar dengan acungan pistol.
Anhar juga merasa pengakuan Wilardjito soal empat jenderal itu patut dipertanyakan. Dia menilai hanya ada tiga jenderal, yakni Amir Machmud, Basuki Rahmat dan M Jusuf saja.
Tidak ada tambahan satu nama, Maraden Panggabean, seperti yang diterangkan Wilardjito. “Wilardjito itu bohong. Pengakuannya itu patut dipertanyakan. Mana ada (Mayjen) Panggabean ikut dan menodongkan pistol,” kata Anhar.
Anhar juga memaparkan bahwa penuturan Wilardjito itu tak berdasarkan kejadian sebenarnya dan cenderung dibuat-buat, lantaran Wilardjito pernah ikut ditangkap setelah dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Kita perlu pertanyakan pengakuannya itu. Dia kan juga ikut ditangkapi bersama beberapa tokoh lainnya yang dianggap PKI,” sambung Anhar.
Dalam memoar yang dituangkan dalam bukunya, Wilardjito memang pernah mengungkapkan bahwa dia ditangkap tanpa berbagai prosedur penangkapan.
“Sungguh brutal dan sewenang-wenang sekali, tanpa prosedur hukum. Setiap orang yang ditangkap ditodong oleh dua regu, diperintahkan supaya angkat tangan. Tanpa surat perintah penangkapan dan kami dinaikkan truk dan dibawa ke RTM (Rumah Tahanan Militer),” tulis Wilardjito dalam bukunya.
“Bahkan, bukan hanya surat penangkapan tidak ada, surat penahanannya pun tidak pernah diberikan. Bukan itu saja kesewenang-wenangannya, beberapa dipindahkan ke tempat tahanan lain, tidak pernah diberikan surat pemberitahuan, baik kepadaku maupun kepada keluarga saya. Bahkan, hak milik dan data-data kami dirampas. Sengaja saya katakan dirampas karena saya tidak pernah diberikan surat tanda sita rumah pribadi, sebab dulu saya bayar harganya, dirampas beserta sertifikatnya,” tutupnya.
0 komentar:
Post a Comment