BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Vedanta Darsana adalah yang
terakhir dari enam sistem filsafat India (Sad Darsana) yang mengakui otoritas
Veda (Astika), dan mendapat tempat terpenting di antara mereka. Pustaka atau
literature Vedanta adalah Upanisad, Brahmasutra dan Bhagavadgita, ketiganya
disebut Prastanatraya (tiga jalan besar). Dari ketiganya, Brahmasutra dari
Badarayana menempati posisi kunci. Sutra-sutra itu biasanya diekspresikan dalam
kalimat singkat dan sering ambigu (memiliki arti lebih dari satu) dan secara
alamiah menimbulkan tafsir berbeda yang menjadi sebab lahirnya tiga cabang
Vedanta yang terkenal, yaitu; Advaita, Dvaita dan Visitadvaita, (Putra, 2014; 91-92).
Vedanta terdiri dari kata
Sansekerta “Veda” dan “Anta”. Veda berarti ajaran-ajaran suci yang berarti juga
kitab sucinya Agama Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Anta berarti
akhir, jadi Vedanta berarti bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan
filsafat inti dari kerohanian Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa
ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di
akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani,
2012; 67).
Vedanta sendiri merupakan bagian
dari Mimamsa. Kata Mimamsa memiliki makna “Penyelidikan”. Mimamsa
dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan Utara Mimamsa. Purva Mimamsa
artinya penyelidikan sistematis yang pertama. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang pertama yaitu kitab Brahmana dan
Kalpasutra. Sedangkan Utara Mimamsa atau
Vedanta yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang kedua, yaitu kitab Upanisad. Purva Mimamsa sering
disebut Karma Mimamsa, sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa, (Ngurah, 1999; 125).
Advaita merupakan salah satu
aliran filsafat Vedanta yang juga membahas tentang hakekat Brahman, Atman, Maya
dan Moksa. Namun, setiap aliran filsafat memiliki pokok-pokok ajaran dengan
penekanan yang berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka muncul
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan sebagai berikut.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah pandangan Advaita Vedanta terhadap
keberadaan Brahman, Atman, Maya dan Moksa?
2.
Bagaimanakah pokok-pokok ajaran dalam Advaita
Vedanta?
1.3 Tujuan
1.
Pembaca dapat mengetahui dan memahami pandangan Advaita
Vedanta terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya, dan Moksa.
2.
Pembaca dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok
ajaran dalam Advaita Vedanta.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Advaita Vedanta
Advaita berasal dari dua kata yakni “A” yang artinya tidak, dan “Dwaita”
yang artinya dualisme, jadi Advaita berarti tiada dualisme. Advaita Vedanta
adalah bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat monoisme untuk
mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan
karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani, 2012; 67).
Sastra/ kitab yang menjadi pedoman mendasar bagi penganut ajaran Vedanta
disebut Prasthanatrayi yaitu terdiri atas Upanishad, Bhagavad Gita dan Brahma
Sutra. Sedangkan orang yang pertama secara eksplisit menyatukan prinsip-prinsip
Advaita Vedanta adalah Adi Shankara.
Sri Sankara, yang di anggap sebagai Avatara dari Siva, merupakan
seseorang yang jenius yang hebat dan mengagumkan, serta menguasai logika. Ia
adalah seorang yang bijak tentang realisasi tertinggi, dimana filsafatnya telah
member hiburan, kedamaian dan pencerahan pada orang-orang yang tak terhitung
jumlahnya, baik dari timur maupun dari barat. Para pemikir barat menundukkan
kepalanya pada kaki padma Sri Sankara. Filsafatnya telah menyejukkan kesedihan
dan kesusahan dari orang-orang yang sangat sedih dan memberinya harapan,
kegembiraan, kebijaksanaan, kesempurnaan, kemerdekaan dan ketenangan pada
banyak orang dan sistem filsafatnya membuat kagum seluruh dunia.
Beliau memiliki 4 orang murid, yaitu: Padma-pada, Hastamalaka, Suresvara
atau Mandana dan Trotaka dan seorang muridnya yang lain, yang bernama
Ananda-Giri menulis sejarah kegigihannya membantah, yang di sebut
Sankara-Vijaya, yang secara tradisi membuatnya sebagai pendiri sekte Saiva yang
utama, yaitu Dasa-Nami-Dandins atau Sepuluh orang peminta-minta. Disamping
ulasan-ulasan beliau terhadap kitab-kitab upanisad, Brahma Sutra, Vedanta
Sutra, Bhagavad Gita dan Mahabarata, beliau juga menulis beberapa buah buku
antara lain: Atma-Bodha, Ananda-Lahari, Jnana Bodhini, Mani-ratna-mala.
2.2 Sejarah
Advaita Vedanta
Tokoh
pendiri Advaita Vedanta ini adalah Sankara yang diperkirakan hidup pada tahun
788-820 Masehi. Akan tetapi di dalam kitab-kitab Upanisad telah banyak
disebutkan adanya guru-guru kerohanian yang telah mengajarkan tentang monoisme,
yaitu; Yajnavalkya dan Uddalaka. Tokoh-tokoh monoisme yang muncul kemudian sesungguhnya
mengembangkan ajaran yang telah ada dalam kitab Upanisad itu. Hal ini dapat
dipahami oleh karena ajaran Advaita pada hakekatnya bersumber dari
Vedanta-sutra atau kitab-kitab Upanisad, (Sumawa
& Krisnu, 1996; 205).
Orang
pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada, yang
merupakan Parama Guru Sri Sankara. Gaudapada dalam Mandukya Karika-nya yang
terkenal telah menguraikan ajaran inti dari ajaran Advaita Vedanta, (Sudiani, 2012; 72).
2.3 Pandangan Advaita Vedanta
a.
Brahman
Advaita Vedanta menyatakan dalam
ajarannya hanya Brahman yang ada, yang tunggal, sedangkan jiwa perorangan
adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri dengan sarana tambahan (Upadhi),
(Sudiani, 2012; 73). Karena Atman
adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun memiliki sifat-sifat
yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa terikat oleh ruang
dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati, (Sudiani, 2012; 82).
Menurut Sankara, Brahman
mempunyai dua wujud yaitu Para Brahman dan Apara Brahman. Para Brahman adalah
perwujudan Tuhan yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan, dan
tanpa pembatasan (Niruphadi). Dalam wujud seperti ini Tuhan disebut Nirguna
Brahman. Nirguna juga disamakan dengan Sunya Niskala, Parama Siva yaitu istilah
yang digunakan untuk memahami hakekat Tuhan dalam keadaan-Nya semula. Dalam
istilah filsafat dikatakan sebagai alam transcendental, yang artinya ada diluar
jangkauan pikiran manusia, (Sudiani,
2012; 75).
Apara Brahman adalah perwujudan
Brahman yang relative dalam artian Brahman memiliki sifat-sifat dan pembatasan.
Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai pencipta, pemelihara dan
pelebur alam semesta. Maka itu Tuhan dipandang sebagai Yang Maha Tahu dan Maha
Kuasa. Dalam keadaan seperti ini Tuhan dipandang sebagai Saguna Brahman atau Isvara
yang dipuja oleh manusia, (Sudiani, 2012;
75).
b.
Atman
Hubungan Brahman dengan jiwa
perorangan tidak dapat disamakan dengan hubungan antara Brahman dengan dunia.
Jiwa perorangan tidak dapat dipandang sebagai penampakan khayalan belaka dari
Brahman, sebab jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma
saja Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana tambahan (upadhi) yang
konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri, (Sudiani, 2012; 82).
Hubungan antara Brahman dengan
Jiwa digambarkan sebagai “Kerang Perak” yang dilihat dengan menggunakan “Kaca
Kuning”. Kerang yang pada dasarnya berwarna perak itu, tampak kuning bila
dilihat dengan sarana tambahan berupa “Kaca Kuning”. “Kerang berwarna kuning”
bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang berwarna perak”. Yang tampak
sama-sama kerangnya, Cuma saja warnanya yang berbeda pada penampakan adalah
“Kerang berwarna kuning” sedangkan pada kenyataannya “Kerang berwarna perak”.
“Kerang Kuning” atau Jiwa perorangan bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang
Perak” atau Brahman seperti halnya penampakan alam semesta. Ada unsur-unsur
yang identik antara Jiwa dengan Brahman, hanya saja Brahman memiliki keadaan
yang membatasi unsur-unsur yang identic itu. Keadaan yang membatasi itu adalah
alat batin atau Antah Karana (Upadhi), (Sudiani,
2012; 82).
Disamping Antah Karana, ada lagi
sarana tambahan yang lain yaitu berupa hasil perbuatan sepanjang hidup manusia
yang disebut dengan Karma Wasana. Karma Wasana ini ada pada tubuh halus yang
kemudian menentukan kehidupan manusia selanjutnya. Dengan adanya sarana
tambahan yang berlapis-lapis itu menyebabkan pengertian “Aku” menjadi manusia
yang sangat unik dan ruwet sekali, karena terdiri dari campuran Atman dan bukan
Atman. Karena adanya Avidya keduanya disamakan yang akibatnya menimbulkan
penderitaan, (Sudiani, 2012; 82).
c.
Maya
Alam semesta atau dunia dipandang
sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak
nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan alam semesta, Sankara
menerima teori Samkya yakni pertemuan Purusa dan Prakerti kemudian dipengaruhi
oleh Triguna sehingga lahirlah secara berturut-turut; Budhi, Ahamkara (ego),
Manas, Dasendria, Panca Tanmantra dan Panca Mahabhuta. Gabungan dari Panca
Mahabhuta inilah muncul alam semesta beserta isinya, (Sudiani, 2012; 73).
d.
Moksa
Tujuan hidup tertinggi menurut
Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman.
Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati itu maka ia mencapai
kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman. Atman menurut Advaita adalah Brahman
seutuhnya yang menampakkan diri disertai dengan sarana tambahan atau upadhi
yang membatasi wujudnya yang sejati. Adapun sarana tambahan itu adalah budhi,
ahamkara (ego), manas, dan pembantu-pembantunya yaitu Jnanendria dan
Karmendria, (Sudiani, 2012; 81).
2.4 Pokok-pokok Ajaran Advaita Vedanta
a)
Mengikuti Petunjuk Guru
Hendaklah seseorang dalam proses belajar itu
mengikuti tiga petunjuk guru yaitu: 1) Mendengarkan perintah guru
sebaik-baiknya, 2) Mengartikan perintah-perintah itu melalui
pertimbangan-pertimbangan yang dalam sehingga bentuk keragu-raguan lenyap, dan
3) Melakukan meditasi berulang-ulang dan kebenaran yang diajarkan oleh sang
guru, (Sudiani, 2012; 84).
b)
Hanya Keberadaan Brahman Yang Mutlak
Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang demikian keberadaan. Di luar
Brahman keadaannya adalah a-sat,
artinya bukan keberadaan yang ada secara kekal. Namun di dalam pengalaman hidup
sehari-hari dunia kelihatannya benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan
diamati, (Sumawa & Krisnu, 1996;
209). Ajaran Advaita dari Sankara menegaskan sifat transenden dari Brahman yang tiada dua-Nya dan juga dualisme daripada alam semesta termasuk
Isvara yang memerintahnya. Yang nyata adalah Brahman atau Atman. Predikat
apapun tidak bisa diberikan kepada Brahman karena setiap predikat mencerminkan
kegandaan, (Atmaja, 1989; 11).
c)
Pencapaian Kelepasan
Tujuan hidup manusia adalah untuk mengetahui dan
merealisasikan kebenaran, untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman
adalah Brahman. Barang siapa yang mencapai tujuab itu ia akan berubah
pikirannya, baik mengenai dirinya maupun yang mengenai dunia. Perubahan ini
menghasilkan kelepasan yaitu kembali keasal-Nya, Brahman. Sarana untuk mencapai
itu menurut Advaita ialah melalui:
·
Wairagya, yaitu melaksanakan disiplin yang praktis
dan tidak terikat pada sesuatu yang ada disekitarnya
·
Berusaha mendapatkan pengetahuan yang tertinggi
(Jnana) dan mengubah pengetahuan ini menjadi pengalaman langsung yaitu dengan
belajar kepada guru mengenai Advaita, sehingga mengetahui benar-benar bahwa
Atman adalah Brahman seutuhnya
·
Berusaha memancarkan pengetahuan ini dalam hidup
sehari hari, (Sudiani, 2012; 84).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Epistimologi Advaita Vedanta
Dalam Advaita Vedanta menyatakan bahwa ada enam
jenis pramana, yaitu: pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana
(perbandingan), sabda (kesaksian), arthapati (perkiraan), dan anupalabdhi (tanpa
pengamatan). Pandangan Sankara dan Kumarila Bhatta berbeda tentang kemunculan
Veda. Kumirila Bhatta mengatakan bahwa Veda tanpa penyusun, maksudnya Veda
tidak diciptakan oleh manusia maupun oleh Tuhan. Sedangkan Sankara menyatakan
bahwa Veda diciptakan oleh Tuhan, dan keberadaan Veda adalah kekal.
1.
Pratyaksa
(Pengamatan Langsung)
Pratyaksa merupakan sumber pengetahuan yang paling tinggi. Proses untuk
mengetahui keberan dari suatu pengetahuan dengan menggunakan indria, dalam hal
ini indria berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Tetapi, ada juga
pengamatan yang bersifat transendental yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang tertentu yakni sebagai berikut:
a. Nirvikalpa
Merupakan suatu pengamatan terhadap objek tanpa penilaian, misalnya:
ketika seseorang melihat sapi dia hanya mengetahui keberadaan sapi itu tanpa
mengetui lebih luas tentang seberapa besar tubuhnya, makanannya apa, dimana
hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.
b. Savikalpa
Savikalpa merupakan suatu pengamatan terhadap objek dengan suatu
penilaian. miaslnya: ketika seseorang melihat sapi, dia pasti juga akan
mengamati tentang tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan
untuk pemeliharaannya.
2.
Anumana
(Penyimpulan)
Anuamana berarti cara untuk mendapatkan kebenaran suatu pengetahuan
dengan cara menyimpulkan. Penyimpulan adalah suatu proses penalaran dimana akan
melewati suatu tahapan-tahapan berpikir tertentu yang diperlukan untuk mencapai
suatu kesimpulan. Ada 5 tahapan dalam proses penyimpulan antara lain:
a.
Pratijna:
memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamataan misalnya gunung
itu berapi.
b.
Hetu:
alasan penyimpulan dimanadalam hal ini terlihat ada asap yang keluar dari
gunung tersebut
c.
Udaharana:
menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang ada dalam hal ini
adalah bahwa segala yang berasap itu tentu ada apinya.
d.
Upanaya:
Pemakaian aturan umum itu pada kenyataannya yang terlihat, yaitu bahwa
jelas gunung itu berapi.
e.
Nigamana:
berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya, dengan
pernyataan bahwa gunung itu berapi, (Maswinara, 1999;130).
3.
Upamana
(Perbandingan)
Pandangan Advaita Vedanta mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan
Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Advaita
selain menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima
perbandingan pula sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Advaita
pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat
adalah persis seperti yang diterima. Contoh: pada saat melihat cerurut (tikus
kecil) orang menerimanya sebagai tikus yang diketahui terlebih dulu, kemudian
dia memperoleh pengetahuan bahwa tikus yang dia ingat sama persis seperti tikus
yang ia lihat, (Sudiani, 2012; 78).
4.
Sabda
(kesaksian)
Bagi para Advaita Vedanta alat pengetahuan yang terpenting adalah
kesaksian atau sabda, yaitu sabda suci Veda yang mengandung kebenaran mutlak. Veda
menurut Sankara diciptakan oleh Tuhan dan bersifat kekal. Pada waktu dunia
Pralaya, Veda ikut lenyap, tetapi kapan dunia ini diciptakan maka Veda akan
muncul kembali untuk membimbing umat manusia kea rah kesempurnaan. Advaita juga
mengakui bahwa pengetahuan yang didapat melalui sabda pramana dipandang benar
bila berasal dari orang yang dapat dipercaya. Misalnya pertanyaan-pertanyaan
para Maha Rsi tentang kebenaran adanya Tuhan dan kesucian-kesucian ajaran-Nya.
Ajaran Tuhan yang ada pada kitab suci Veda menurut Advaita hendaknya dijadikan
pedoman dalam hidup ini demi kesempurnaan umat manusia, (Sudiani, 2012; 78).
5.
Arthapatti
(persangkaan atau perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap
sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berawalan satu
dengan yang lainnya. Bila memberikan penjelasan kepada orang lain tentang
sesuatu benda yang belum pernah dilihat sebelunnya, kita harus menjelaskan
benda yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenal, sehingga orang
itu akan mudah mengerti. Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah
merupakan suatu kesimpulan dan pula merupakan suatu bentuk perbandingan.
Contoh: kita melihat seorang laki-laki berbadan gemuk sedangkan ia tidak pernah
dilihat makan pada siang hari, disini kita mendapat suatu kenyataan yang
bertentangan antara badannya yang gemuk dengan puasa yang dilakukannya. Kita
tidak dapat menemukan jalan damai untuk kedua fakta ini yaitu kegemukan dan
tidak makan atau puasa, kecuali kita menerima perkiraan tentulah orang
laki-laki itu makan pada waktu malam hari, (Sudiani,
2012; 79).
6.
Anupalabdi (tanpa
pengamatan)
Anupalabdi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak
adanya pengamatan terhadap suatu objek dikarenkan bendanya memang tidak ada.
Misalnya ada pertanyaan dari seseorang, bagaimana saya tahu tentang
ketidakadaan itu? Maka jawabannya: lihatlah dan katakan apakah ada pot bunga di
atas meja ini? Saya tidak dapat mengatakan hal tersebut, karena benda itu
memang tidak ada. Terhadap hal ini oleh Advaita dikatakan bahwa ketidakadaan
pot di atas meja itu diketahui karena tidak adanya pot di atas meja, maka dari
itu tidak dapat dipahami, (Sudiani, 2012;
80).
3.2 Aksiologi Advaita Vedanta
ü Mampu
membedakan hal-hal yang bersifat kekal dan tidak kekal
ü Bisa
mengatasi keinginan yang berlebihan akan kenikmatan terhadap objek-objek keduniaan
pada waktu sekarang dan selanjutnya
ü Memiliki pemikiran-pemikiran
yang luhur seperti; kesabaran, cinta kasih, dan kekuatan berkonsentrasi
ü Mengarahkan
kemauan dan keinginan untuk menuju kepada kelepasan.
ü Meyakini
bahwa Atman itu adalah Brahman seutuhnya yang tidak dapat dibagi-bagi.
ü Meyakini
bahwa hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta
isinya adalah ilusi belaka.
BAB IV
SIMPULAN
Advaita Vedanta adalah bagian akhir dari kitab suci Veda yang
menguraikan filsafat monoisme untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa
ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di
akhirat yang disebut Moksa.
Inti sari
filsafat Advaita Vedanta dari Sri Sankara terkandung dalam separoh sloka: “BRAHMA SATYAM JAGAN MITHYA, JIVO BRAHMAIVA
NA APARAH,” yang artinya bahwa Brahman (Yang Mutlak) sajalah yang nyata,
dunia ini tidak nyata dan Jiva tidak berbeda dengan Brahman, (Sudiani, 2012; 72).
a.
Pandangan
Advaita Vedanta
·
Brahman:
Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta isinya
adalah maya. Sedangkan Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun
memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa
terikat oleh ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati.
·
Atman: Jiwa
adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma saja Brahman disini
menampakkan dirinya dengan sarana tambahan Antah Karana (upadhi) yang
konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri. Selain Antah
Karana, Karma Wasana juga ada pada tubuh halus yang kemudian menentukan
kehidupan manusia selanjutnya.
·
Maya: Alam
semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh
karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan
alam semesta, Sankara menerima teori Samkya.
·
Moksa: Tujuan
hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan
bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati
itu maka ia mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman.
b.
Pokok-pokok
ajaran Advaita Vedanta
·
Mengikuti
petunjuk guru
·
Hanya
keberadaan Brahman yang mutlak
·
Pencapaian
kebebasan
c.
Epistimologi ajaran Advaita mengakui adanya enam
jenis, dua dari yang pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
·
Pratyaksa (pengamatan langsung)
·
Anumana (kesimpulan)
·
Upamana (perbandingan)
·
Sabda (kesaksian)
·
Arthapati (persangkaan
atau perkiraan tanpa bukti)
·
Anupalabdi (tanpa pengamatan).
d.
Aksiologi Advaita Vedanta
·
Atman adalah Brahman seutuhnya yang tidak dapat
dibagi-bagi, dengan merealisasikan hal itu akan membuat seseorang mencapai
kelepasan.
·
Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh
alam semesta beserta isinya adalah ilusi belaka.
·
Timbul cinta kasih yang sangat mendalam terhadap
semua mahluk karena terealisasikannya ajaran “Tat Twam Asi”.
·
Menyatukan berbagai aliran agama karena Advaita
merupakan filsafat kesatuan dan menghormati semua mahluk.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, I.B Oka Punia. 1989. Upanisad-Upanisad
Utama. Yayasan Parijata: Jakarta Selatan
Maswinara, I Wayan.1998. Sistem
Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita.
Ngurah, I Gusti Made dkk. 1999. Buku
Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Paramita: Surabaya.
Putra, Ngakan Putu. 2014. Kamu
Adalah Tuhan. Media Hindu.
Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata kuliah Darsana.
Sumawa, I Wayan & Krisnu, Djokorda Raka. 1996. Materi Pokok Darsana.
0 komentar:
Post a Comment