Bangunan epistemologi Nyaya adalah realis-empiris. Maksudnya bahwa dunia di luar kita berdiri sendiri. Jika dunia di luar kita berdiri sendiri, maka otomatis pengetahuan pun berasal darinya. Jika begini adanya, demikian menurut Nyaya, maka Pengetahuan tentang dunia di luar kita yang berdiri sendiri tersebut mesti didapatkan pertama-tama alat-alat inderawi kita. Akan tetapi Nyaya tidak berhenti hanya pada proses pencerapan inderawi atas sesuatu di luar kita tersebut. Karena bagaimanapun juga, akal mesti ikut berperan di sini. Ini bisa juga dikatakan sebagai pengetahuan yang A Priori dan A Posteriori dalam istilah Kant.
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana) agar pengetahuan awal (yang umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi Nyaya.
1. Pratyakasa Pramana (Proses Pengamatan Langsung)
Pramana pertama adalah Pratyaksa. Pratyaksa adalah pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris. Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada hubungan antara kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya. Hubungan ini bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu adalah Nirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada. Dan untuk sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa, misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga pengetahuan yang bisa keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat lain atau di mana saja.
2. Anumana Pramana (Pross Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles. Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya yang empiris.Bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya. Dari pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak. Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
- Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
- Hetu: alasan penyimpulan
- Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
- Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
- Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna, 2013)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogiatau perbandingan. Konsep dasarUpamana adalah membandingkan (menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun, penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar. Misalnya: Saya mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus memutar otak agar Si A tahu.Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z.
4. Sabdha Pramana (Proses Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian. Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya. Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya. Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut Vaidika. Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika (logika): Seseorang yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang yang dipercayai kesaksiannya (laukika). Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam manusia. Begitu juga misalnya jika saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada petani, bukan kepada dokter.
0 komentar:
Post a Comment