Friday, 30 January 2015

Media Pada Rangkaian Hari Raya Galungan

Media Pada Rangkaian Hari Raya Galungan

BAB I
PENDAHULUN

1.1  Latar Belakang
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Hakikatnya Galungan adalah perayaan menangnya dharma melawan adharma.Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri[1].
Sejarah hari raya galungan berasal dari kepercayaan Hindu di Bali. Seorang asura bernama Mayadenawa adalah bakta Siva yang sangat tekun, dengan memuja Siva, ia memohon kekuatan agar mampu melakukan perubahan wujud. Dewa Siva berkenan muncul dan mengabulkan keinginannya.Ada ahirnya Mayadenawa menjadi sangat sakti dan mampu melakukan peruahan wujud hingga seribu kali perubahan.Dengan kemampuan itulah raksasa ini menjadi sombong dan menguasai daerah Bali dan sekitarnya, saat itu tidak ada yang mampu untuk mengalahkanya. Ahirnya Dewa Indra turun ke bumi dan melakukan pertarungan dengan Mayadenawa, pertarungan berlangsung sengit hingga membuat Dewa Indra mengeluarkan Bajra.Singkat cerita raksasa Mayadenawa ahirnya gugur dalam pertarungan tersebut.Kemenangan Dewa Indra melawan raksasa Mayadenawa inilah yang dikenal sebagai Hari Raya Galungan.
Waktu pelaksanaan hari raya galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan, oleh siapa dan dimana.Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI mempekirakan Hari Raya Galungan sudah dalam dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali.Tapi menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.”Berdasarkan isi lontar di atas, sampai saat ini umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

1.2  Rumusa Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai  berikut :
  1. Bagaimanakah sejarah hari raya galungan?
  2. Ada berapa macamkah hari raya galungan?
  3. Bagaimanakah makna hari raya galungan dan makna filosofi hari raya galungan?
  4. Bagaimanakah rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan?

1.3  Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui sejarah sari raya galungan
  2. Untuk mengetahui macam – macam hari raya galungan
  3. Untuk mengetahui makna hari raya galungan dan makna filosofis hari      raya galungan
  4. Untuk mengetahui rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan dalam pelaksanaannya

1.4  Manfaat
Berdasrkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penulisan diatas, adapun manfaat yang diharapkan yaitu sebagai berikut :

  1. Mahasiswa dapat mengetahui sejarah hari raya galungan
  2. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam hari raya Galungan
  3.  Mahasiwa dapat mengetahui makna hari raya galungan dan makna filosofi hari raya galungan
  4. Mahasiswa dapat mengetahui rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan dalam pelaksanaannya.



BAB II
LANDASAN TEORI
Hari raya suci keagamaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan suatu ajaran agama. Dengan peringatan atau perayaan suatu hari suci keagamaan maka diharapkan pemeluk agama dapat lebih memantapkan kualitas rohaninya, baik itu secara internal, dalam hal ini adalah bagi diri pribadi dan sesama pemeluk agama. Maupun secara eksternal, dalam hal ini adalah antar pemeluk agama dan lingkungan sosial masyarakat yang bersifat heterogen.
Umat Hindu sebagaimana halnya dengan umat beragama lain di negara Republik Indonesia ini, juga menjadikan hari raya suci kegamaan sebagai hari yang diperingati atau yang diistimewakan karena berdasarkan keyakinan, hari-hari itu mempunyai makna atau fungsi yang amat penting bagi kehidupan umat Hindu, baik karena pengaruhnya maupun nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya sehingga dirasakan perlu diingat dan diperingati selalu. Dengan merayakan atau memperingati hari raya suci tersebut, baik yang telah ditentukan atau dinyatakan di dalam kitab-kitab suci, atau menurut kepercayaan tradisional, hari tersebut akan memberi pengaruh terhadap diri sehingga dirasakan sangat berkewajiban untuk diperingatinya.
Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan dharma melawan adharma. Di setiap agama ada hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dengan nama Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 10 hari, seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 10 hari[2].
Pada hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang berupa kebenaran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad). Lontar Sunarigama menulis:
Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep[3].
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada.
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sundarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail.
Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma[4].
Selain upacaranya, penjor yang ditancapkan di depan rumah saat perayaan Galungan juga memiliki makna. Penjor, melambangkan Gunung Agung. Tak hanya itu, penjor yang menjulang dengan ujung yang merunduk juga memiliki filosofi padi. Semakin berisi semakin merunduk. Manusia pun harus berlaku demikian. Semakin tinggi ilmu, semakin rendah diri. Khusus untuk penjor Galungan ini, harus terdapat pala mula, pala bungkah dan pala gantung. Kain putih sebagai lambang kesucian juga ikut menghiasi penjor. Semuanya sebagai simbolitas rasa syukur manusia pada Hyang Kuasa atas hasil alam yang ada di dunia ini. Setelah semua dipahami, tentu merayakan Galungan bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi ada makna yang harus diketahui.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Sejarah Hari Raya Galungan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya[5].

Artinya :
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya, artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan, karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku[6].
Bagi masyarakat Bali, Hari Galungan punya cerita sendiri. Jaman dahulu tersebutlah seorang Raja keturunan Raksasa yang sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa mampu berubah wujud menjadi apa saja.Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena kesaktian Mayadenawa.Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa.
Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.Pagi harinya, pasukan kahyangan meminum air dan keracunan. Dewa Indra tahu racun berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan mata air baru yang sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul, semua pasukan yang keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari Tirta Empul kemudian dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.
Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang melarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walopun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.

Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan.

Peringatan Hari Galungan sebenarnya sudah dimulai beberapa hari sebelum Galungan dan berakhir beberapa hari setelah Kuningan.Galungan minus 6, hari Kamis (Wrespati) Wage wuku Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Jawa, adalah hari kedatangan para Dewa ke Bumi. Pada hari ini umat melakukan upacara ditujukan kepada para Dewa dan luluhurGalungan minus 5, hari Jumat (Sukra) Keliwon Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Bali, adalah hari untuk membersihkan diri. Umumnya umat melakukan upacara di pura (matirtha yatra), berdoa dan lebih menghayati ajaran dalam Kitab Suci Weda.Galungan minus 3, hari Minggu (Redite) Pahing Dungulan adalah hari dimana umat disarankan untuk melakukan semedi untuk menenangkan diri. Pada 3 hari sejak hari Minggu akan datang 3 macam Bhuta yang akan menggoda pikiran kita yaitu Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, and Bhuta Amangkurat. Pada hari Minggu atau Senin ini, umat mulai membuat kue atau tape untuk Galungan[7].

Galungan minus 1, hari Selasa (Anggara) Wage Dungulan disebut Penampahan, biasanya umat melakukan pemotongan hewan untuk keperluan upacara. Juga melakukan caru/segehan di halaman rumah ditujukan kepada Sang Bhuta Galungan.Galungan, hari Rabu (Budha) Keliwon Dungulan adalah hari kemenangan atas ujian mental selama 3 hari dari Sang Bhuta Galungan sekaligus simbol kemenangan Dharma melawan Adharma. Persembahan ditujukan kepada Tuhan dan leluhur yang turun ke duniaGalungan plus 1, hari Kamis (Wrespathi) disebut Umanis Galungan, adalah hari dimana umat bisa menikmati hari kemenangan. Umumnya orang melakukan rekreasi ke tempat-tempat wisata.Galungan plus 5, hari Senen (Soma) Keliwon Kuningan, disebut Pamacekan Agung, adalah hari untuk berdoa untuk tujuan yang mulia dan kebersihan Galungan plus 10, hari Sabtu (Saniscara) Keliwon Kuningan, disebut Tumpek Kuningan, hari datangnya para Dewa dan luluhur ke dunia, namun hanya sampai pukul 12 siang. Itulah sebabnya umat melakukan upacara sebelum tengah hari berlaluGalungan plus 35, hari Rabu (Buda) Keliwon Pahang, disebut Pegat Wakan, adalah hari terakhir dari rangkaian meditasi selama 42 hari sejak Sugimanek Jawa.

3.2  Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Sedangkan kita tambah satu lagi yakni galungan di India[8]. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Galungan
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

b.      Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
c.       Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran[9]
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah[10].
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
d.      Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

3.3    Makna Hari Raya Galungan dan Makna Filosofi Hari Raya Galungan

a.      Makna Hari Raya Galungan
Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.
Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.
b.      Makna Filosofi Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep[11]

Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup dan “matirta gocara”. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata

3.4  Perbedaan Galungan Antar Daerah
Galungan di Desa Mulyasari Kecamatan Negeri Agung, Lampung Utara, sama dengan galungan di Bali. Sehingga dengan kemiripan ini dapat kita bedakan antara galungan di Mulyasari/Bali dengan luar Bali (Jawa) tentu saja berbeda. Perayaan Galungan di Bali dan di Jawa sedikit berbeda. Pelaksanaan Galungan di Bali sering di gunakan sebagai ajang untuk adu gengsi dan pamer kemewahan sehingga setiap perayaan Galungan umat Hindu Bali saling berlomba membuat sesaji, banten dan penjor semewah mungkin. Berbeda dengan umat Hindu diluar Bali (Jawa), mereka melaksanakan Galungan hanya dengan sesaji, banten dan penjor yang sederhana.Perbedaan pelaksanaan ini mungkin dikarenakan jumlah umat yang berbeda di dua tempat ini. Di Bali jumlah umat Hindu sangat dominan sehingga mereka beradu gengsi antara umat yang satu dengan yang lain, tidak seperti umat di Jawa yang jumlah umatnya tidak sebanyak di Bali sehingga pelaksanaannya pun sederhana.

3.5  Rangkaian Hari Raya Galungan dan Media yang Digunakan

1.      Tumpek Wariga
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
Media yang digunakan yaitu banten berupa canang sari, segehan cacah yang disertai dengan bubur sumsum dan sampian sasat yang diikat pada golok, kemudian golok tersebut dijadikan alat sebagai pengarah (pengatak) pada tumbuhan guna untuk memberikan arahan pada semua tumbuh - tumbuhan bahwa hari raya galungan menjelang 25 hari. Dengan pengarahan tersebut Pohon – pohonan diharapkan berbuah yang banyak sehingga pada hari raya galungan buahnya bisa dipersembahkan.

a.       Anggara Kasih Julungwangi
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.
     Media yang digunakan yaitu banten caru alit yang terdiri dari nasi panca warna, telur, jahe, bawang merah dan garam. Banten caru alit pada umumnya dilengkapi dengan canang peras, segehan dan canang sari.

b.      Buda Pon Sungsang
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.

2.      Sugian Jawa
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta), Selain itu pada umumnya masyarakat membuat banten prayascita guna untuk mensucikan lingkungan pekarangan.

3.      Sugian Bali
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).

4.      Penyekeban
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).

5.      Penyajaan
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang. Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).

6.      Penampahan
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Sehari sebelum hari raya Galungan umat Hindu di Bali umumnya menyiapkan perayaan Galungan dengan memotong hewan seperti ayam dan babi untuk pesta perayaan Galungan. Pengertian itu sesungguhnya suatu pemahaman yang sangat awam, namun hal itulah yang jauh lebih mentradisi daripada arti sesungguhnya Penampahan Galungan itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat hindu yang berada di Mulyasari Kecamatan Negeri Agung, Kabupaten Way Kanan.
Penampahan Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Makna dari prosesi ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang patut dan mana yang tidak patut. Sehingga, dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma.Jadi penyembelihan ayam dan babi itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti babi.Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif. Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah yang mungkin masih melekat dalam diri kita.Dengan demikian saat Galungan berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.
Salah satu sumber penderitaan umat manusia di dunia ini adalah karena sering dibelit oleh sifat malas namun serakah. Ingin hidup enak dan senang tetapi malas berusaha.Inilah musuh manusia yang sering menyelinap dalam dirinya.Dalam merayakan hari raya Galungan sebagai hari untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menyadari dirinya sering kalah melawan kemalasan dan keserakahan.Sebagai akibatnya manusia pun menderita karena sering kalah melawan sifat malas dan serakah itu.Karena itu, dalam perayaan Galungan secara terus-menerus diingatkan agar selalu waspada pada dua sifat yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan yang menderita.
Kemalasan dan keserakahan berasal dari Guna Tamas dan Guna Rajah. Sesungguhnya Guna Tamas dan Rajah itu akan menjadi positif apabila dapat dikendalikan oleh Guna Sattwam. Guna Tamas dan Guna Rajas itu akan menunjukkan aspek positifnya kalau ia berada di bawah kendali Guna Sattwam.
Karena itulah salah satu yang diingatkan dalam perayaan Galungan adalah melakukan Ngerebu saat upacara Sugian.Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang Guna Sattwam.Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna Sattwam-nya.Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnana nirmalakna.Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri.Dari semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Selanjutnya marilah buktikan dalam perayaan Galungan ini kita menang.Bagaimana membuktikannya, cobalah mulai kita menangkan produk lokal untuk digunakan sebagai sarana upacara dalam merayakan Galungan.Meskipun kualitas dan kuantitasnya masih kalah dengan produk import. Penggunaan produk lokal itu akan mendorong kita untuk mengupayakan agar produk lokal hasil karya sendiri itu lebih diupayakan peningkatan mutu dan kuantitasnya. Gunakanlah sarana hasil daerah kita untuk merayakan Galungan seperti buah-buahan, bunga-bungaan, demikian juga sarana-sarana lainnya.
Buktikanlah selama perayaan Galungan makin kecil jumlah umat yang mabuk karena merayakan Galungan.Tidak ada yang kebut-kebutan di jalan raya saat Galungan.Bahkan kita mampu menunjukkan selama perayaan Galungan pelanggaran lalu lintas menurun drastis.Merayakan Galungan dengan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu, jelas suatu kekalahan.
Kalau masih merayakan hari raya keagamaan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu jelas angka-angka negatif akan lebih menonjol dari angka-angka positif. Misalnya setiap perayaan Galungan justru statistik pelanggaran lalu lintas meningkat.Jumlah orang berkelahi karena mabuk justru meningkat saat-saat merayakan Galungan.Jumlah pengotoran lingkungan semakin banyak.Usai hari raya Galungan justru lingkungan lebih kotor dari sebelumnya.Demikian juga orang masuk rumah sakit lebih meningkat saat Galungan karena pesta-pesta yang salah kaprah.
Merayakan Galungan untuk memenangkan Dharma justru harus diupayakan dengan sadar untuk membalik angka-angka negatif menjadi angka-angka positif.Demikian juga perayaan Galungan dijadikan momentum melakukan gerakan untuk mengatasi problem sosial.Misalnya gerakan untuk tidak menjadikan tempat suci sebagai arena judi, minum-minuman keras dan pesta-pesta pora yang berlebihan[12]
Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:
    lamak simbol Reg Weda,
    bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
    tamiang simbol Sama Weda, dan
    sampian simbol Yayur Weda.

Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.

7.      Galungan
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara - Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.
Media yang digunakan yaitu banten penyucian, canang sari, segehan cacah dan banten pengeraos.
Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Galungan dan Kuningan adalah hari kemenangan dan kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vrhaspatitattva, yaitu:
1.      Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2.      Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3.      Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4.      Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Narayana.
5.      Prawrijya, mengembara menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6.      Diksa, penyucian diri
7.      Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

8.      Manis Galungan
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
9.      Pemaridan Guru
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.

10.  Ulihan
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.

11.  Pemacekan Agung
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.

12.  Penampahan Kuningan
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).

13.  Kuningan
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari. Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma.Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan. Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
Hari raya ini datangnya sepuluh hari setelah Galungan. Ini adalah hari raya khusus, di mana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong “ngelawang” beberapa hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan / gambelan.
Dalam Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya[13].
           
14.  Pegat Uwakan
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
·         Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya ‘Kemenangan’. Wuku Dungulan juga memiliki arti kemenangan.
·         Sejarah Galungan berawal dari raksasa Mayadenawa (bakta Dewa Siva) yang sangat sakti bisa melakukan seribu kali perubahan. Kesombongan raksasa ini dikalahkan oleh Dewa Indra dengan Bajra. Kemenangan Dewa Indra tersebut dikenal dengan Hari Raya Galungan.
·         Waktu pelaksanaan hari raya Galungan dijelaskan dalam Lontar Purana Bali Dwipa yang dilaksanakan pertama kali tahun 804 saka atau 882 M, yaitu pada waktu purnama kapat, wuku dungulan, Rabu kliwon.
·         Hari raya Galungan di Bali sering di gunakan sebagai ajang untuk adu gengsi dan pamer kemewahan sehingga setiap perayaan Galungan umat Hindu Bali saling berlomba membuat sesaji, banten dan penjor semewah mungkin. Berbeda dengan diluar Bali (Jawa) umat Hindu hanya membuat sesaji, banten dan penjor yang sederhana saja.
·         Ragkaian pelaksanaan hari raya Galungan dimulai dari tumpek warige, Sugian jawa dan bali, penyekepan, penyajaan, penampahan dan terahir Galungan.


4.2            Saran
·         Hari raya Galungan merupakan kemenangan Dharma melawan Adharma, hendaknya jangan disalah gunakan sebagai ajang perlombaan atau hura-hura.
·         Harapan kami, semua umat hindu di Indonesia mengerti makna filosofi penampahan, sehingga mereka sadar bahwa mengendalian diri sangat dibutuhkan guna meningkatkan sifat satwam.

DAFTAR PUSTAKA
Balihita. 2013. Makna Penampahan Galungan (Online).http://berita.balihita.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014
Arkayus. 2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
Dhika, Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan) (Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
Wiana, Ketut. 2012. Makna Hari Raya Galungan Bagi Umat Hindu di Bali (Online). http://belogngeblog.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
Wiana, Ketut. Ketut Wiana. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni.


[1] Balihita. 2013. Makna Penampahan Galungan (Online).http://berita.balihita.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014
[2] Dhika, Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan) (Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
[3] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 107
[4] Arkayus. 2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
[5] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 106
[6] Arkayus. 2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
[7] Dhika, Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan) (Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
[8] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 110-112
[9] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 111
[10] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 111
[11] Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 107
[12] Balihita. 2013. Makna Penampahan Galungan (Online). http://berita.balihita.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014
[13] Wiana, Ketut. 2012. Makna Hari Raya Galungan Bagi Umat Hindu di Bali (Online). http://belogngeblog.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015

Media Pada Rangkaian Hari Raya Galungan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown
Posted by Maha Yuge
Maha Yuge Updated at: 15:37

0 komentar:

Post a Comment