BAB I
PENDAHULUN
1.1 Latar Belakang
Kata
"Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau
bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara
ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Hakikatnya Galungan adalah perayaan menangnya dharma melawan adharma.Selain
itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam
diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan
gelap (adharma) dalam diri[1].
Sejarah
hari raya galungan berasal dari kepercayaan Hindu di Bali. Seorang asura
bernama Mayadenawa adalah bakta Siva yang sangat tekun, dengan memuja Siva, ia
memohon kekuatan agar mampu melakukan perubahan wujud. Dewa Siva berkenan
muncul dan mengabulkan keinginannya.Ada ahirnya Mayadenawa menjadi sangat sakti
dan mampu melakukan peruahan wujud hingga seribu kali perubahan.Dengan
kemampuan itulah raksasa ini menjadi sombong dan menguasai daerah Bali dan
sekitarnya, saat itu tidak ada yang mampu untuk mengalahkanya. Ahirnya Dewa
Indra turun ke bumi dan melakukan pertarungan dengan Mayadenawa, pertarungan
berlangsung sengit hingga membuat Dewa Indra mengeluarkan Bajra.Singkat cerita
raksasa Mayadenawa ahirnya gugur dalam pertarungan tersebut.Kemenangan Dewa
Indra melawan raksasa Mayadenawa inilah yang dikenal sebagai Hari Raya
Galungan.
Waktu
pelaksanaan hari raya galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama
kali diadakan, oleh siapa dan dimana.Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede
Putra selaku mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI
mempekirakan Hari Raya Galungan sudah dalam dirayakan oleh umat Hindu di
seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali.Tapi menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha
Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut
berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur,
tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”Artinya:
“Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu
Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau
Bali bagaikan Indra Loka.”Berdasarkan isi lontar di atas, sampai saat ini umat
Hindu merayakan Hari Raya Galungan setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada
hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan
Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
1.2 Rumusa Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai berikut :
- Bagaimanakah sejarah hari raya galungan?
- Ada berapa macamkah hari raya galungan?
- Bagaimanakah makna hari raya galungan dan makna filosofi hari raya galungan?
- Bagaimanakah rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu
sebagai berikut :
- Untuk mengetahui sejarah sari raya galungan
- Untuk mengetahui macam – macam hari raya galungan
- Untuk mengetahui makna hari raya galungan dan makna filosofis hari raya galungan
- Untuk mengetahui rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan dalam pelaksanaannya
1.4 Manfaat
Berdasrkan latar
belakang, rumusan masalah, dan tujuan penulisan diatas, adapun manfaat yang
diharapkan yaitu sebagai berikut :
- Mahasiswa dapat mengetahui sejarah hari raya galungan
- Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam hari raya Galungan
- Mahasiwa dapat mengetahui makna hari raya galungan dan makna filosofi hari raya galungan
- Mahasiswa dapat mengetahui rangkaian hari raya galungan dan media yang digunakan dalam pelaksanaannya.
BAB II
LANDASAN
TEORI
Hari
raya suci keagamaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan
suatu ajaran agama. Dengan peringatan atau perayaan suatu hari suci keagamaan
maka diharapkan pemeluk agama dapat lebih memantapkan kualitas rohaninya, baik
itu secara internal, dalam hal ini adalah bagi diri pribadi dan sesama pemeluk
agama. Maupun secara eksternal, dalam hal ini adalah antar pemeluk agama dan
lingkungan sosial masyarakat yang bersifat heterogen.
Umat
Hindu sebagaimana halnya dengan umat beragama lain di negara Republik Indonesia
ini, juga menjadikan hari raya suci kegamaan sebagai hari yang diperingati atau
yang diistimewakan karena berdasarkan keyakinan, hari-hari itu mempunyai makna
atau fungsi yang amat penting bagi kehidupan umat Hindu, baik karena
pengaruhnya maupun nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya sehingga
dirasakan perlu diingat dan diperingati selalu. Dengan merayakan atau
memperingati hari raya suci tersebut, baik yang telah ditentukan atau
dinyatakan di dalam kitab-kitab suci, atau menurut kepercayaan tradisional,
hari tersebut akan memberi pengaruh terhadap diri sehingga dirasakan sangat
berkewajiban untuk diperingatinya.
Hari
Raya Galungan adalah hari kemenangan dharma melawan adharma. Di setiap agama
ada hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa
ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari
kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang
bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dengan
nama Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 10 hari, seperti
halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 10 hari[2].
Pada
hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar
bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan
mana yang berupa kebenaran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat
keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad). Lontar
Sunarigama menulis:
Budha Kliwon Dungulan ngaran
Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa
byapaning idep[3].
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya
mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi
inti perayaan ini adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran
dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah
wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah
penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu
saling mendatangi tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini
dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat
Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh
mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada.
Perayaan
(upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon,
(Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali
bagaikan Indra Loka.
Sejak
itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah
Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar
pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu
terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga
belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para
pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika
Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam
lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja
dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang
terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa
Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik
atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik
itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek
karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena
itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan
Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.
Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada
hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan
pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala
yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari
diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan
bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh
umat Hindu di Bali.
Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi
atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga
memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad)
dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang
berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai
kecenderungan keraksasaan.
Galungan
adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual
dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma
melawan adharma. Dalam lontar Sundarigama, Galungan dan rincian upacaranya
dijelaskan dengan mendetail.
Bersatunya
rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala
kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi
lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah
merayakan menangnya dharma melawan adharma[4].
Selain
upacaranya, penjor yang ditancapkan di depan rumah saat perayaan Galungan juga
memiliki makna. Penjor, melambangkan Gunung Agung. Tak hanya itu, penjor yang
menjulang dengan ujung yang merunduk juga memiliki filosofi padi. Semakin
berisi semakin merunduk. Manusia pun harus berlaku demikian. Semakin tinggi
ilmu, semakin rendah diri. Khusus untuk penjor Galungan ini, harus terdapat
pala mula, pala bungkah dan pala gantung. Kain putih sebagai lambang kesucian
juga ikut menghiasi penjor. Semuanya sebagai simbolitas rasa syukur manusia pada
Hyang Kuasa atas hasil alam yang ada di dunia ini. Setelah semua dipahami,
tentu merayakan Galungan bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi ada makna yang
harus diketahui.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Hari Raya Galungan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa
Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan
Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas
disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku
Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam
rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang
artinya sama: manis. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya
Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia,
terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede
Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan,
Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu
populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa
Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya
Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan,
masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan
titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan
pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882
Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci
Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya[5].
Artinya :
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu
pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal
15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan
oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang
lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya pada tahun
1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri
Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika
tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan,
konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi
relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu
pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat
terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada
lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri
Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu
berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan
tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya, artinya
mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak
jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti
dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa
leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan, karena
itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan
Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku[6].
Bagi
masyarakat Bali, Hari Galungan punya cerita sendiri. Jaman dahulu tersebutlah
seorang Raja keturunan Raksasa yang sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa.
Dengan kesaktiannya, Mayadenawa mampu berubah wujud menjadi apa saja.Mayadenawa
menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan
Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk
memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani
melawan karena kesaktian Mayadenawa.Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama
Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya
melakukan semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi
Mayadenawa.
Dewa
Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk
meminta bantuan.Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan
untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah
mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat
pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.Akhirnya pasukan
Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang. Namun Mayadenawa
belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa
diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber
air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan
sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.Pagi
harinya, pasukan kahyangan meminum air dan keracunan. Dewa Indra tahu racun
berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan mata air baru yang
sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul, semua pasukan yang
keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari Tirta Empul kemudian
dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.
Dewa Indra
mengejar Mayadenawa yang melarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian,
Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar).
Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.Namun Dewa Indra
terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa
walopun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu
membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal
dengan Tukad Petanu.Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk
mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat
panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.
Kemenangan Dewa
Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma)
melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.Pada Hari
Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari
Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti
umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa,
buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi
yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum
Galungan.
Peringatan Hari
Galungan sebenarnya sudah dimulai beberapa hari sebelum Galungan dan berakhir
beberapa hari setelah Kuningan.Galungan minus 6, hari Kamis (Wrespati) Wage
wuku Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Jawa, adalah hari kedatangan para
Dewa ke Bumi. Pada hari ini umat melakukan upacara ditujukan kepada para Dewa
dan luluhurGalungan minus 5, hari Jumat (Sukra) Keliwon Sungsang, disebut
Sugimanek (Sugihan) Bali, adalah hari untuk membersihkan diri. Umumnya umat
melakukan upacara di pura (matirtha yatra), berdoa dan lebih menghayati ajaran
dalam Kitab Suci Weda.Galungan minus 3, hari Minggu (Redite) Pahing Dungulan
adalah hari dimana umat disarankan untuk melakukan semedi untuk menenangkan
diri. Pada 3 hari sejak hari Minggu akan datang 3 macam Bhuta yang akan
menggoda pikiran kita yaitu Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, and Bhuta
Amangkurat. Pada hari Minggu atau Senin ini, umat mulai membuat kue atau tape
untuk Galungan[7].
Galungan minus
1, hari Selasa (Anggara) Wage Dungulan disebut Penampahan, biasanya umat
melakukan pemotongan hewan untuk keperluan upacara. Juga melakukan caru/segehan
di halaman rumah ditujukan kepada Sang Bhuta Galungan.Galungan, hari Rabu
(Budha) Keliwon Dungulan adalah hari kemenangan atas ujian mental selama 3 hari
dari Sang Bhuta Galungan sekaligus simbol kemenangan Dharma melawan Adharma.
Persembahan ditujukan kepada Tuhan dan leluhur yang turun ke duniaGalungan plus
1, hari Kamis (Wrespathi) disebut Umanis Galungan, adalah hari dimana umat bisa
menikmati hari kemenangan. Umumnya orang melakukan rekreasi ke tempat-tempat
wisata.Galungan plus 5, hari Senen (Soma) Keliwon Kuningan, disebut Pamacekan
Agung, adalah hari untuk berdoa untuk tujuan yang mulia dan kebersihan Galungan
plus 10, hari Sabtu (Saniscara) Keliwon Kuningan, disebut Tumpek Kuningan, hari
datangnya para Dewa dan luluhur ke dunia, namun hanya sampai pukul 12 siang.
Itulah sebabnya umat melakukan upacara sebelum tengah hari berlaluGalungan plus
35, hari Rabu (Buda) Keliwon Pahang, disebut Pegat Wakan, adalah hari terakhir
dari rangkaian meditasi selama 42 hari sejak Sugimanek Jawa.
3.2 Macam-macam Galungan
Meskipun
Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan,
ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan
lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya
tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan
Galungan Nara Mangsa. Sedangkan kita tambah satu lagi yakni galungan di India[8].
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Galungan
Galungan adalah
hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan
dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan
“Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap
Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena
yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku.
Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat
bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
b. Galungan
Nadi
Galungan yang
pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa
adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan
dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan
Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan
kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa
kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka
akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara
hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka
melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena
ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang
Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau
yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama
disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang
lebih setiap 10 tahun sekali.
c. Galungan
Nara Mangsa
Galungan Nara
Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
Yan
Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek
9, Galungan Nara Mangsa ngaran[9]
Artinya:
Bila
Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila
bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam
lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai
berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan
dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu,
anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong
Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan
anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya
mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi
cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung,
moga ta sira kapereg denira Balagadabah[10].
Artinya:
Inilah
petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi
manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan
wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan
Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen
yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9
sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya.
Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan
dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya
bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah
dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan
Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara
Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi)
Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan
raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa
tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat
dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian
pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya
diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam
lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh
Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya
Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
d. Galungan
di India
Hari raya Hindu
untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma
dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan
hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari
perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya”
(bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa
Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari
Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan
Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.
Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan
upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri
itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh
pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai
spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah
dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa
kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.
Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan
adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu
raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi
Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik
menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih
sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di
Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker,
seram, sangat menakutkan.
Perayaan
Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan.
Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.
Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan
adharma.
Sedangkan
upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri.
Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu.
Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan
pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai,
keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan
Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi
ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya
umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh
besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah
disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan
tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak
dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas
panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa
sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung
terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang
memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat
penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan
itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka
mengalahkan adharma.
Kalau
kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu
pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan
yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu
“sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma.
Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri
Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah
mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan
itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan
dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir
batin.
Kemenangan
lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup
sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat
maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar
orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan
melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
3.3
Makna
Hari Raya Galungan dan Makna Filosofi Hari Raya Galungan
a.
Makna
Hari Raya Galungan
Penjelasan Hari
Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan
setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan
dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau
unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini
merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan
adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan).
Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada
dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan
kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan
sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga
diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota
keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan
pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari
bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya
serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.
Sebelum
puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian,
penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku
Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten
artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran
rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah
orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian
Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana
agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada
Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri
pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk
mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari
penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada
Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam
hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam
diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan
tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya
diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan
dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan,
sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.
b.
Makna
Filosofi Galungan
Galungan adalah
suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan
mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu
berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi
kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan
kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia
atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan
keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk
mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi
Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama,
Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna
Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha
Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang
maryakena sarwa byapaning idep[11]
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya
Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang
untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti
Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian
yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma
dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah
wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan
bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma. Untuk
memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan
setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna
menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan
pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan
Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu
hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan
membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania
amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-
masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata
“bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan
itulah yang disucikan.
Pada Redite
Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia.
Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan
pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga
disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki
oleh Butha Galungan. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan.
Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.
Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari
Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah
dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok
yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat
kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna
sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan
yang ada pada diri. Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut
hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan
meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup dan “matirta gocara”.
Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata
3.4 Perbedaan Galungan Antar Daerah
Galungan
di Desa Mulyasari Kecamatan Negeri Agung, Lampung Utara, sama dengan galungan
di Bali. Sehingga dengan kemiripan ini dapat kita bedakan antara galungan di
Mulyasari/Bali dengan luar Bali (Jawa) tentu saja berbeda. Perayaan Galungan di
Bali dan di Jawa sedikit berbeda. Pelaksanaan Galungan di Bali sering di
gunakan sebagai ajang untuk adu gengsi dan pamer kemewahan sehingga setiap
perayaan Galungan umat Hindu Bali saling berlomba membuat sesaji, banten dan
penjor semewah mungkin. Berbeda dengan umat Hindu diluar Bali (Jawa), mereka
melaksanakan Galungan hanya dengan sesaji, banten dan penjor yang
sederhana.Perbedaan pelaksanaan ini mungkin dikarenakan jumlah umat yang
berbeda di dua tempat ini. Di Bali jumlah umat Hindu sangat dominan sehingga
mereka beradu gengsi antara umat yang satu dengan yang lain, tidak seperti umat
di Jawa yang jumlah umatnya tidak sebanyak di Bali sehingga pelaksanaannya pun
sederhana.
3.5 Rangkaian Hari Raya Galungan dan
Media yang Digunakan
1.
Tumpek
Wariga
Jatuh pada hari
Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin
dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang
Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
Media yang digunakan yaitu banten berupa canang sari, segehan
cacah yang disertai dengan bubur sumsum dan sampian sasat yang diikat pada
golok, kemudian golok tersebut dijadikan alat sebagai pengarah (pengatak) pada
tumbuhan guna untuk memberikan arahan pada semua tumbuh - tumbuhan bahwa hari
raya galungan menjelang 25 hari. Dengan pengarahan tersebut Pohon – pohonan
diharapkan berbuah yang banyak sehingga pada hari raya galungan buahnya bisa
dipersembahkan.
a. Anggara
Kasih Julungwangi
Hari Anggara, Kliwon,
Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada
watek Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan
pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.
Media yang digunakan yaitu banten caru alit
yang terdiri dari nasi panca warna, telur, jahe, bawang merah dan garam. Banten
caru alit pada umumnya dilengkapi dengan canang peras, segehan dan canang sari.
b. Buda
Pon Sungsang
Hari Buda, Pon, Wuku
Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian
Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang,
balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala
kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh
karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin
(mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung yang
berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik
untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.
2.
Sugian
Jawa
Hari Wraspati,
Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura,
Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang
raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta), Selain itu pada umumnya masyarakat membuat banten
prayascita guna untuk mensucikan lingkungan pekarangan.
3.
Sugian
Bali
Hari Sukra,
Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di
Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi,
canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
4.
Penyekeban
Hari Redite,
Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta
Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi
artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau
berkelahi. Manusia agar
menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak
baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya
nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
5.
Penyajaan
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau
2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia
lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk;
Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat
ingin menang. Manusia agar
lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu.
Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang
sifat dungul).
6. Penampahan
Hari Anggara,
Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta
Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma.
Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat
manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan
memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan,
Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Sehari
sebelum hari raya Galungan umat Hindu di Bali umumnya menyiapkan perayaan
Galungan dengan memotong hewan seperti ayam dan babi untuk pesta perayaan
Galungan. Pengertian itu
sesungguhnya suatu pemahaman yang sangat awam, namun hal itulah yang jauh lebih
mentradisi daripada arti sesungguhnya Penampahan Galungan itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat hindu yang berada
di Mulyasari Kecamatan Negeri Agung, Kabupaten Way Kanan.
Penampahan
Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan
atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Makna dari prosesi ritual ini adalah
untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnana atau membangun
kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Mana yang baik dan mana yang buruk.
Mana yang patut dan mana yang tidak patut. Sehingga,
dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan
yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma.Jadi penyembelihan ayam dan
babi itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka
bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti
babi.Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif.
Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan
hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan
sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah
yang mungkin masih melekat dalam diri kita.Dengan demikian saat Galungan
berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.
Salah
satu sumber penderitaan umat manusia di dunia ini adalah karena sering dibelit
oleh sifat malas namun serakah. Ingin
hidup enak dan senang tetapi malas berusaha.Inilah musuh manusia yang sering
menyelinap dalam dirinya.Dalam merayakan hari raya Galungan sebagai hari untuk
mengingatkan umat manusia agar senantiasa menyadari dirinya sering kalah
melawan kemalasan dan keserakahan.Sebagai akibatnya manusia pun menderita
karena sering kalah melawan sifat malas dan serakah itu.Karena itu, dalam
perayaan Galungan secara terus-menerus diingatkan agar selalu waspada pada dua
sifat yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan yang menderita.
Kemalasan
dan keserakahan berasal dari Guna Tamas dan Guna Rajah. Sesungguhnya Guna Tamas
dan Rajah itu akan menjadi positif apabila dapat dikendalikan oleh Guna
Sattwam. Guna Tamas dan Guna Rajas itu akan menunjukkan aspek positifnya kalau
ia berada di bawah kendali Guna Sattwam.
Karena
itulah salah satu yang diingatkan dalam perayaan Galungan adalah melakukan
Ngerebu saat upacara Sugian.Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang
Guna Sattwam.Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna
Sattwam-nya.Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnana
nirmalakna.Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri.Dari
semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Selanjutnya
marilah buktikan dalam perayaan Galungan ini kita menang.Bagaimana
membuktikannya, cobalah mulai kita menangkan produk lokal untuk digunakan
sebagai sarana upacara dalam merayakan Galungan.Meskipun kualitas dan
kuantitasnya masih kalah dengan produk import. Penggunaan produk lokal itu akan
mendorong kita untuk mengupayakan agar produk lokal hasil karya sendiri itu
lebih diupayakan peningkatan mutu dan kuantitasnya. Gunakanlah sarana hasil
daerah kita untuk merayakan Galungan seperti buah-buahan, bunga-bungaan,
demikian juga sarana-sarana lainnya.
Buktikanlah
selama perayaan Galungan makin kecil jumlah umat yang mabuk karena merayakan
Galungan.Tidak ada yang kebut-kebutan di jalan raya saat Galungan.Bahkan kita
mampu menunjukkan selama perayaan Galungan pelanggaran lalu lintas menurun
drastis.Merayakan Galungan dengan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu,
jelas suatu kekalahan.
Kalau
masih merayakan hari raya keagamaan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu
jelas angka-angka negatif akan lebih menonjol dari angka-angka positif.
Misalnya setiap perayaan Galungan justru statistik pelanggaran lalu lintas
meningkat.Jumlah orang berkelahi karena mabuk justru meningkat saat-saat
merayakan Galungan.Jumlah pengotoran lingkungan semakin banyak.Usai hari raya
Galungan justru lingkungan lebih kotor dari sebelumnya.Demikian juga orang
masuk rumah sakit lebih meningkat saat Galungan karena pesta-pesta yang salah
kaprah.
Merayakan
Galungan untuk memenangkan Dharma justru harus diupayakan dengan sadar untuk
membalik angka-angka negatif menjadi angka-angka positif.Demikian juga perayaan
Galungan dijadikan momentum melakukan gerakan untuk mengatasi problem
sosial.Misalnya gerakan untuk tidak menjadikan tempat suci sebagai arena judi,
minum-minuman keras dan pesta-pesta pora yang berlebihan[12]
Sore
hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung
simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang
melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam
Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai
berikut:
lamak simbol Reg Weda,
bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
tamiang simbol Sama Weda, dan
sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu
penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah
dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan
beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga
mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
7.
Galungan
Hari Buda,
Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan
bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara - Bhatari turun dari Kahyangan
memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan
mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.
Media yang digunakan yaitu banten penyucian, canang sari,
segehan cacah dan banten pengeraos.
Hari-hari raya
keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau
nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan
pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat
mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Galungan dan
Kuningan adalah hari kemenangan dan kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya
dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana
mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan
merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam
kitab Vrhaspatitattva, yaitu:
1. Sila,
yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2. Yajña,
yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara
dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3. Tapa,
pengekangan dan pengendalian diri.
4. Dana,
memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan
bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai
menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra
Narayana.
5. Prawrijya,
mengembara menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6. Diksa,
penyucian diri
7. Yoga,
senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
8.
Manis
Galungan
Hari Wraspati,
Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi
berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas
kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.Malam
harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar
kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.
Pemujaan
di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari
Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa =
sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara,
Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa
(Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
9.
Pemaridan
Guru
Hari Saniscara,
Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku
Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara
Brahma.
10. Ulihan
Hari Redite,
Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke
Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan
terima kasih atas wara nugraha-Nya.
11. Pemacekan Agung
Hari Soma,
Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen
(caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana
dapat terwujud.
12. Penampahan Kuningan
Hari Sukra,
Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa
(menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam
urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa,
Sada Siwa, Parama Siwa).
13. Kuningan
Hari Saniscara,
Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun
dari Kahyangan sampai tengah hari. Manusia
mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa
kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari
perbuatan-perbuatan adharma.Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning
sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka
mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan. Selain itu menggantungkan “tamiang” di
Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan
adharma.
Hari raya ini
datangnya sepuluh hari setelah Galungan. Ini adalah hari raya khusus, di mana
para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi
disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya
masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong “ngelawang” beberapa
hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan / gambelan.
Dalam Kuningan
menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana
makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan
perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat
tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam,
risikonya akan tergilas oleh roda alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat
diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan
tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang
paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti
(jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida
Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga
dituntut selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas
sosial. Selain itu, melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada
lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya[13].
14. Pegat Uwakan
Hari Buda,
Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari
terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya
kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam
kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir,
dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
·
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa
Kuno yang artinya ‘Kemenangan’. Wuku Dungulan juga memiliki arti kemenangan.
·
Sejarah Galungan berawal dari raksasa
Mayadenawa (bakta Dewa Siva) yang sangat sakti bisa melakukan seribu kali
perubahan. Kesombongan raksasa ini dikalahkan oleh Dewa Indra dengan Bajra.
Kemenangan Dewa Indra tersebut dikenal dengan Hari Raya Galungan.
·
Waktu pelaksanaan hari raya Galungan
dijelaskan dalam Lontar Purana Bali Dwipa yang dilaksanakan pertama kali tahun
804 saka atau 882 M, yaitu pada waktu purnama kapat, wuku dungulan, Rabu kliwon.
·
Hari raya Galungan di Bali sering di
gunakan sebagai ajang untuk adu gengsi dan pamer kemewahan sehingga setiap
perayaan Galungan umat Hindu Bali saling berlomba membuat sesaji, banten dan
penjor semewah mungkin. Berbeda dengan diluar Bali (Jawa) umat Hindu hanya
membuat sesaji, banten dan penjor yang sederhana saja.
·
Ragkaian pelaksanaan hari raya Galungan
dimulai dari tumpek warige, Sugian jawa dan bali, penyekepan, penyajaan,
penampahan dan terahir Galungan.
4.2
Saran
·
Hari raya Galungan merupakan kemenangan
Dharma melawan Adharma, hendaknya jangan disalah gunakan sebagai ajang
perlombaan atau hura-hura.
·
Harapan kami, semua umat hindu di
Indonesia mengerti makna filosofi penampahan, sehingga mereka sadar bahwa
mengendalian diri sangat dibutuhkan guna meningkatkan sifat satwam.
DAFTAR PUSTAKA
Balihita. 2013. Makna Penampahan Galungan (Online).http://berita.balihita.com. Diakses Pada Tanggal
19 Desember 2014
Arkayus. 2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses
Pada Tanggal 19 Januari 2015
Dhika, Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan)
(Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com.
Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
Wiana, Ketut. 2012. Makna Hari Raya Galungan Bagi Umat Hindu di Bali (Online). http://belogngeblog.wordpress.com.
Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
Wiana, Ketut. Ketut Wiana. Yadnya dan Bhakti. terbitan Pustaka
Manikgeni.
[1] Balihita.
2013. Makna Penampahan Galungan (Online).http://berita.balihita.com.
Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014
[2] Dhika,
Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha
Kliwon Dungulan) (Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com. Diakses Pada
Tanggal 19 Januari 2015
[3]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 107
[4] Arkayus.
2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan
dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal
19 Januari 2015
[5]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 106
[6] Arkayus.
2012. Makalah Tentang Hari raya kuningan
dan galungan (Online). http://aryakus.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal
19 Januari 2015
[7] Dhika,
Ngurah. 2012. Hari Raya Galungan (Budha
Kliwon Dungulan) (Online). http://ngurah-dhika.blogspot.com. Diakses Pada
Tanggal 19 Januari 2015
[8]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 110-112
[9]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 111
[10]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 111
[11]
Wiana, Ketut. Yadnya dan Bhakti.
terbitan Pustaka Manikgeni. Hal 107
[12] Balihita.
2013. Makna Penampahan Galungan (Online).
http://berita.balihita.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014
[13] Wiana,
Ketut. 2012. Makna Hari Raya Galungan
Bagi Umat Hindu di Bali (Online). http://belogngeblog.wordpress.com.
Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2015
0 komentar:
Post a Comment