BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pencarian
kebenaran atas realitas yang ada di dunia ini merupakan sifat unik
manusia. Mereka selalu bertanya dan
tentang sesuatu dan yang lainnya. Setiap
saat dan fase kehidupan yang dialaminya, manusia selalu bertanya. Pertanyaan ini selalu ada di pikiran dan
merupakan akar dari pengetahuan.
Pertanyaan
manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak sudah menjadi pembahasan dari sejak
dulu. Siapakah saya? Siapakah kebenaran mutlak yang tertinggi? Darimanakah asal kehidupan? Apakah yang terjadi dengan kematian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi
perdebatan oleh para filsuf baik di Barat maupun di Timur.
Para
filsuf di India membahas tentang rahasia kehidupan tersebut dari sudut pandang
Agama Hindu. Pembahasan tentang
kebenaran mutlak dalam filsafat Agama Hindu dalam Bahasa Sansekerta disebut
dengan Darsana.
Filsafat Hindu ada enam yang disebut
dengan Sad Darsana, yaitu (1) Nyaya Darsana, (2) Waisesika Darsana, (3) Sankhya
Darsana, (4) Yoga Darsana, (5) Mimamsa Darsana, dan (6) Wedanta Darsana.
1.2
Ruang
Lingkup
Pembahasan
Darsana dilakukan secara kelompok dengan menyusun makalah dan presentasi. Penyusunan makalah ini didasarkan pada
beberapa sumber pustaka.
Dari enam Darsana, pembahasan akan
diperdalam mengenai Nyaya Darsana, yaitu Darsana yang pertama. Pembahsan meliputi sejarah, pengertian,
pokok-pokok ajaran dan implementasinya.
1.3
Tujuan
Makalah ini juga
didiskusikan di kelas untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai Darsana,
khususnya Nyaya Darsana. Diharapkan
mahasiswa mampu menjelaskan Darsana, khususnya Nyaya Darsana pada Umat Hindu
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
BAB
II
NYAYA
DARSANA
2.1
Pengertian
Kata Darśana
berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata
benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini
berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Darsana adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang
dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.
Sedangkan Nyaya
dapat diartikan sebagai kembali, argument, penelitian dan analitis. Nyaya juga
dapat diartikan sebagai suatu pengujian kritis dari obyek pengetahuan dengan
memakai kaidah-kaidah pembuktian secara logika. Nyaya dikatakan sebagai
filsafat hidup walaupun pada pokoknya berhubungan dengan studi logika atau
argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama Nyaya adalah moksa.
Jadi Nyaya Darsana
dapat diartikan sebagai suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui
logika. Sistem filsafat ini secara kritis berurusan dengan masalah-maslah
metafisika dan mengandung diskusi tentang psikologi, logika, metafisika, dan
teologi.
Filsafat
Nyaya Darsana menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek
dan subyek pengetahuan amnusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran.
Sehingga ajaran nyaya Darsana dikenal juga ilmu logika dan nalar (Nyaya Vidya
atau Tarka Sastra), ilmu logika dan epistemology (Pramana Sastra), Ilmu
penyebab (Hetu Vidya), ilmu debat (Vada Vidya) dan ilmu studi kritis
(Anviksiki).
Dalam ajaran nyaya
menganalisis hakekat dan sumber pengetahuan dan validitas dan non vaditas. Bukti
dari pengertian diserahkan kepada suatu pencarian yang kritis. Aliran ini
memberikan uraian tentang mekanisme pengetahuan secara rinci. System nyaya
merupakan system pertama yang meletakkan pondasi yang kuat ilmu logika India.
2.2
Sejarah
Nyaya Darsana
secara umum dikenal sebagai Tarka Vada atau diskusi. Nyaya Darsana mengandung ilmu diskusi dan
debat. Nyaya darsana didirikan pada tahun 4 sebelum masehi oleh Maha Rsi
Gautama dan ditulis dalam system Nyaya Sutra. Sistem ini dikenal juga dengan
nama sistem filsafat Aksapada. Kemudian banyak filosof yang memunculkan
karya-karyaanya guna memperkuat posisi nyaya sekaligus memberi komentar
terhadap nyaya sutra.
Pada tahun 400
masehi sudah banyak nyaya yang telah muncul, seperti misalnya Nyayabhasya yang
didirikan oleh Vatsyayava, kemudian Nyaya Langkara oleh Srikantha, Nyaya
Manjari yang dirikan Jayanta, Nyaya Bodhini yang dirikan oleh Govardhana dan
Nyaya Kusumanjali oleh Vacaspati Misra.
Pada abad ke 12
masehi di Bengali, India Selatan, muncul aliran Nyaya baru yang bernama Navya
Nyaya. Ajaran ini dipelopori oleh Gangesa Misra. Namun jika dilakukan
pendalaman mengenai ajaran Navya Nyaya ini, maka lebih mengarah pada perombakan
ajaran Vaishesika Darsana.
Nyaya merupakan
alat utama untuk meyakini sesuatu dengan empat keadaan yakni Subyek (pramata),
obyek (prameya), keadaan hasil dari pengamatan (pramiti) dan pramana yang
didalamnya terdapat penyimpulan. Dengan melalui tahap tersebut ajaran nyaya
yang tak terbantahkan dari berbagai pengujian. Inilah yang menjadikan Nyaya
Darsana masih bisa bertahan hingga sekarang.
2.3
Pandangan
Dalam pembahasan
sebelumnya telah dijelaskan mengenai tujuan dari Darsana yakni pencapaian
kebebasan. Walaupun demikian dari enam darsana tidak selamanya memiliki
pandangan yang sama. Seperti pandangan tentang Brahman, Atman, Maya dan Moksa.
2.3.1
Brahman
Ajaran Nyaya Darsana
hampir sama dengan ajaran Waisesika Darsana sehingga kedua ajaran ini sering
dihubungkan. Kedua ajaran ini menjelaskan Tuhan dengan sangat rinci dan selalu
dihubungkan dengan kelepasan. Menurut Nyaya Darsana sesuatu terjadi karena ada
penyebabnya. Nyaya meyakini konseb sebab akibat. Sehingga mengkehendaki
kehadiran Tuhan yaitu kekuatan yang tak tampak oleh mata. Nyaya meyakini bahwa
atom-atom sebagai penyebab material tidak mampu menciptakan dunia ini tanpa
adanya penyebab efisien yang berkesadaran. Pada saat itulah diperlukan
kehadiran Tuhan untuk memberikan kekuatan pertam sehingga atom-atom bisa
melakukan kombinasi-kombinasinya.
Nyaya memandang
Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini
memiliki suatu rencan dan tujuan tertentu, sehingga dunia ini memiliki tata
tertib tertentu yang bersifat universal. Tuhan itu tunggal adanya memiliki
sifat tak terbatas, kekal mengatasi waktu, ruang, pikiran, jiva dan tidak
terbatas. Tuhan dalam nyaya juga disebut sebagai Siva.
2.3.2
Atman
Tuhan adalah yang
menciptakan, memelihara dan melenyabkan alam semesta beserta isinya. Penciptaan
alam semesta ini bersifat permanen yang keberadaanya selalu dihubungkan dengan
Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Menurut Nyaya, atman dapat dibuktikan
beberadaanya melalu pikiran dan tubuh. Atman keberadaanya dapat dibandingkan
dengan listrik. Aliranya tidak tampak tetapi dapat dirasakan.
Atman
ada dua macam yaitu jivatman (rioh pribadi) dan Paramatman (roh universal).
Menurut nyaya jivatman ada pada diri semua manusia dan melibatkan diri dengan
alam semesta dan menjadi sengsara. Sedangkan paramatman adalah pengetahuan
tertinggi atau jiva yang telah mengetahui segalahnya (sarvajna).
Nyaya
memandang atman sebagai materi, sedangkan kesadaran adalah sifat dari atman
tersebut. Atman adalah tempat kediaman dari jnana atau kecerdasan, pengetahuan
dan kemapuan untuk mengetahui. Menurut nyaya semua panca indra dipengaruhi oleh
jiva. Sehingga nyaya memandang pikiran adalah alat dari jiva untuk berfikir.
Jiva dipandang akan tetap abadi selamanya walaupun badan, pikiran dan
indra-indra lenyap. Ajaranya nyaya memandang bahwa atman atau jiva perorangan
maha tahu, berkepriabadian dan sebagai yang menikmati.
2.3.3
Maya
Filsafat Nyaya
ingin mencari pengetahuan yang benar (moksa) mengenai dunia ini dan bagaimana
hubungannya denga pikiran manusia serta dirinya sendiri. Bila seseorang
menguasai teknik logika dan penalaran dan mampu menerapkan secara penuh dalam
hidup sehari-hari maka ia akan dapat melepaskan dirinya sediri dari segala
bentuk penderitaan.
Menurut nyaya,
bahwa dunia diluar manusia ini, terlepas dari pikiran. Artinya bahwa dunia ini
berdiri sendiri. Kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia dengan melalui
pikiran yang dibantu oleh indra. Demikian halnya dengan pengetahuan suka dan
duka yang dialami seseorang. Menurut nyaya segala sesuatu yang diketahui ini
semata-mata melalui perantara pikiran, baik sesuatu yang terbatas maupun tak
terbatas, manusia dan dewa. Oleh karena itu, system nyaya dapat disebut sebagai
system yang realitas (nyata).
Nyaya menilai
bahwa pengetahuan benar atau salah tergantung alat apa yang dugunakan untuk
memperoleh pengetahuan tersebut. Dimana setiap pengetahuan menyatakan 4 keadaan
yaitu subyek (pramana), obyek (yang diamati), pramiti (keadaan hasil dari
pengamatan) dan cara untuk mengamati (pramana) yang terdiri dari pratyaksa,
anumana, upaman dan sabda pramana.
2.3.4
Moksa
Pada umunya tujuan
utama dari Darsana adalah moksa atau pembebasan bagi setiap jiva individu dari
ikatan duniawi. Nyaya juga mengatakan bahwa tujuan utama dari kehidupan manusia
adalah pembebasan. Untuk mencapai tujuan tersebut seseorang haru memperoleh
pengetahuan yang benar atau tattva jnana, yaitu pengetahuan realitas sebagai
realitas keseluruhan.
Fislsafat nyaya
menekankan tiga tahap jalan memperoleh tujuan pengetahuan pembebasan yakni
srvana, manana dan nididhyasana. Srvana adalah tahap dimana manusia haru
mempelajari kitab suci dari orang-orang suci atau rsi. Tahap kedua yakni manana
yaitu proses perenungan ajaran yang didapat dari para rsi, dan yang terakhir
yakni nididhyasana yaitu tahap dimana seseorng harus berkontenplasi tentang
roh, mengkonfirmasikan pengetahuanya dan mempraktekkan kebenaran didalam
hidupnya.
Dengan
mempraktekkan srvana, manana dan nididhyasana, seseorang akan sadar akan
hakekat dari roh yang sepenuhnya berbeda dengan badan, pikiran, panca indra dan
obyek lainya di dunia ini.
2.4
Pokok-pokok Ajaran
Nyaya Darsana
merupakan ajaran yang mengedepakna mengenai bagaimana hakikan Brahman bisa
dibuktikan dengan ilmu logika. Nyaya menilai segala sesuatu dapat dibuktikan
secara logika atau rasional tergantung dari alat yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti misalnya dunia ini yang terbentuk dari
unsur panca mahabuta yang terdiri dari unsur atom-atom.
Teori penciptaan
ini memiliki kesamaan dengan konsep Waisesika. Dimana dikatakan bahwa alam
semesta diciptakan Tuhan dengan tujuan yang telah direncanakan. Sehingga
terdapat adanya hukum sebab akibat. Maka dari itu, untuk memperoleh kebenaran
tersebut sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang
perlu diamati dengan teliti, yaitu:
- Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
- Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
- Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
- Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
- Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
- Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
- Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
- Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
- Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
- Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
- Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
- Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
- Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
- Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
- Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
- Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia
ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka
sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup
tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar.
Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang
dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.
2.5.1
Epistemologi
Bagi Nyaya,
dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana) agar pengetahuan awal (yang
umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah empat alat
(catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha, untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Keempat pramana ini adalah sistem
Epistemologi Nyaya.
1.
Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Pramana pertama
adalah Pratyaksa.Pratyaksa adalah pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala
sesuatu yang eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia
dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul
realis-empiris. Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat
beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada
hubungan antara kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran.
Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu
mesti menempati ruang dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek
pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara
keduanya. Hubungan ini bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan
tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau
pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut
ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu
bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan
indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa
pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat
transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna
yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat
berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang
bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa).
Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu adalahNirwikalpa; kita belum
mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia
ada. Dan untuk sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita
mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut
dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa
ini kita dapat mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa
ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya
ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa, misalnya yang dapat diamati bukan
hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada
juga pengetahuan yang bisa keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati
dan lantas keliru itu memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara
nyata, mungkin di tempat lain atau di mana saja.
2.
Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana
yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa
antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu
antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap
berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati
tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung
yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung
tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada
asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik
ini kita mesti menyelidiki perantara-nya yang empiris bahwa kita pernah
membakar sampah, memasak dan lain sebagainya. Dari pengalaman ini, kita
menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain,
kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata
bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh api atau
sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan asap, karena
pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami berkata seperti itu,
maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung
berapi, karena setiap ada asap pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut
apinya belum tampak. Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada
api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan
(anumana) menurut Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
- Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
- Hetu: alasan penyimpulan
- Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
- Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
- Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna, 2013)
3.
Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah
cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogiatau perbandingan. Konsep dasar Upamana
adalah membandingkan (menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang
hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain
walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita
maksudkan. Namun, penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari
jumlah variable yang dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan
maka, akan semakin banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya: Saya
mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah
melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus
memutar otak agar Si A tahu. Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil
sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini
sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia
melihat sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z),
maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z.
4.
Sabda Pramana (Penyaksian)
Pramana yang
terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui
kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa
dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya
kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan
disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan
disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita
percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika
(logika): Seseorang yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia
sangat percaya karena yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam
konteks ini adalah orang yang dipercayai kesaksiannya (laukika). Sebaliknya,
tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang menyimpulkan
sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak
tahu-menahu soal penyakit dalam manusia. Begitu juga misalnya jika saya mau
tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada petani,
bukan kepada dokter.
2.5.2 Aksiologi
Nyaya Darsana
mengajarakan tentang pembebasan. Menurut pandanga nyaya bahwa semua jiwa
perorangan akan dapat mencapai pengetahuan yang benar dan kelepasan bila Tuhan
berkenan menganugrahinya. Maka dari itu, untuk mendapatkan kebebasan muncul
tiga cara yang dikemukan oleh nyaya yakni srvana, manana dan nididhyasana. Seseorang
yang memiliki pengetahuan tersebut akan mendapatkan kebenaran yang dapat
mengusir kegelapan dari identifikasi diri dan kesalapahaman (mitya-jnana)
menyangkut keakuan dan keengkauan.
Bila hal ini yang
terjadi maka manusia menghapuskan nafsunya dan dorongan hatinya serta mulai
mewujudkan tugas-tugasnya sendiri tanpa mempunyai keinginan untuk memetik buah
dari perbuatanya. Api pengetahuan tentang kebenaran membakar karma masa lalu
seseorang seperi benih yang akan menjadi seperti tidak besemai. Dengan demikian
pengetahuan yang benar akan membawah manusia kesiklus pembebasan atau moksa.
BAB
III
KESIMPULAN
Sad Darsana adalah
enam sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun
pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Nyaya
merupakan dasar dari Sad Darsana yang mengandung Tarka-Vidya (ilmu perdebatan)
dan Vada-Vidya (ilmu diskusi). Nyaya bersumber dari Nyaya Sutra yang ditulis
Rsi Gautama pada abad ke-4 kemudian diulas oleh Rsi Vatsyayana yang berjudul
Nyaya Bhasya (ulasan tentang Nyaya).
Filsafat Nyaya
menegakkan keberadaan Isvara sehingga dikenal sebagai alat utama untuk meyakini
sesuatu objek dengan penyimpulan yang tak dapat dihindari. Pandangan Filsafat
Nyaya dapat memperoleh pengetahuan dengan pikiran dan dibantu dengan indera. Filsafat
Nyaya dikatakan benar atau salah tergantung dari alat yang digunakan, yaitu:
Pramata (subjek pengamatan), Prameya (objek yang diamati), Pramiti (kedalaman
hasil pengamatan), Pramana (cara pengamatan).
DAFTAR PUSTAKA
Sudiani,
Ni Nyoman, SE.,SPdH., M.Fil.H, Materi Ajar: Mata Kuliah Darsana, STAH Dharma
Nusantara, Jakarta, 2013.
Donder,
I Ketut, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta, Paramita, Surabaya, 2006.
Maswinara,
I Wayan, Sistem Filsafat Hindu; Sarva Darsana Samgraha, Paramita, Surabaya,
2006.
0 komentar:
Post a Comment